OPD Laksanakan Program Pencegahan Stunting Tidak Sesuai Hasil Ansit Pokja
Kupang, sonafntt-news.com. Pelaksanaan program pencegahan stunting di NTT oleh Organisasi Perangkat Daerah (OPD), khususnya dinas teknis terkait tidak tepat sasaran. Salah satu sebabnya yaitu, karena tidak adanya komitmen OPD dan dinas teknis terkait dalam melaksanakan program sesuai rancangan tata kelola pelaksanaan program sebagaimana hasil analisa situasi berbasis Data yang ada di lapangan (Ansit) yang didesain Pokja.
Demikian tanggapan Ketua Pokja Stunting NTT, Sarah Lery Mboeik saat diwawancarai tim media ini di Kantor PIAR NTT pada Kamis (24/03/2022), terkait habis terpakainya anggaran besar Rp 165 Miliar, tetapi stunting di NTT tertinggi di Indonesia.
“Banyak program (yang dilaksanakan baik oleh OPD di Provinsi maupun Kabupaten/Kota, red) tidak berbasis pada hasil ansit atau hasil analisa situasi (yang didesain Pokja, red), makanya ada temuan (BPK, red) disitu,” jelasnya.
Sara Lery Mboeik menjelaskan, bahwa program PMT (pemberian makanan tambahan) yang seharusnya diberikan kepada anak balita gizi buruk, diberikan tidak tepat sasaran pada para penerima manfaat program. “Misalnya, seharusnya diberikan kepada anak Balita, tetapi diberikan kepada anak SD atau anak SMP. Itu misalnya begitu. Kemungkinan tidak tepat sasaran kepada semua anak gizi buruk,” ungkapnya. Kemudian air bersih, lanjutnya, juga kemungkinan program tersebut tidak diberikan pada daerah lokus stunting. “Itu temuan BPK, dan Dan kami sendiri (Pokja) juga temukan itu dan mempertanyakan konsistensi teman-teman (OPD Provinsi dan Kabupaten/Kota, red) terhadap hasil ansit itu,” kritiknya.
Menurutnya, program pencegahan stunting tidak tepat sasaran juga karena program tersebut tidak dilakukan dalam satu koordinasi tim kerja yang kompak dan solid. Sebaliknya, pelaksanaan program pencegahan stunting terkesan tidak adanya kerja sama yang baik.”Saya tidak bermaksud untuk mencuci tangan (terkait masalah pencegahan stunting di NTT, red), tetapi yang saya lihat adalah banyak yang masih kerja one man show. Padahal ini (stunting, red) masalah multi sektor.
Gereja harus kita libatkan, masjid harus kita libatkan, lembaga adat harus kita libatkan,” jelasnya. Lanjut Sara, dari 25 cakupan persoalan dasar stunting, Pokja menemukan hal pertama dan mendasar yaitu sanitasi dan air bersih. Kedua, bina keluarga balita dan PKH.
“PKH itu yang kotong (kita) dapat (temukan di lapangan, red) ketika kita melakukan in depth monitoring, kartu PKH yang seharusnya dipegang ibu-ibu itu dipegang oleh bapak-bapak. Padahal, tujuannya untuk pemulihan kesehatan. Tetapi ditemukan, misalnya di Sumba, PKH itu digunakan untuk bayar hutang pesta,” bebernya.
Sementara terkait air bersih, menurut Sara, seluruh wilayah untuk program 1000 HPK (Hari Pertama Kehidupan). Selain itu, melaksanakan program air bersih tepat pada sasaran penerima manfaat program dan tidak sesuai kemauan atau keinginan pelaksana program. Sambungnya, Itu namanya temuan BPK memang begitu karena kerja penanganan stunting tidak berdasarkan hasil ansit,” tegasnya. (SN/tim)