Polda NTT Harusnya Sudah Tetapkan Tersangka Kasus Proyek 1 Juta Ekor Benih Kerapu
Kupang,sonafntt-news.com.Kepolisian Daerah (Polda) Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) seharusnya sudah menetapkan tersangka kasus proyek pengadaan 1 juta benih ikan kerapu di Teluk Wae Kelambu Kabupaten Ngada-NTT Tahun Anggaran (TA) 2019 senilai Rp. 7,8 Miliar dimana kasus tersebut sudah lama dilidik oleh Polda NTT sejak bulan September 2020.
Demikian disampaikan Advokat Peradi-Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia Wilayah NTT/TPDI-NTT, Meridian Dewanta Dado, SH dalam rilis tertulis yang diterima tim media ini pada Rabu (11/08/2021).
“Anehnya, sampai saat ini penanganan kasus dugaan korupsi dimaksud belum juga ditingkatkan ke tahapan penyidikan (sidik) dan belum juga ditetapkan tersangka-tersangkanya. Padahal, segenap saksi dan bukti-bukti lainnya telah diperoleh oleh pihak Ditreskrimsus Polda NTT. Jadi seharusnya sudah ada tersangka yang ditetapkan,” tegas Meridian.
Menurut Meridian, proyek pengadaan 1 juta ekor Benih Kerapu tersebut disinyalir tidak memberikan manfaat atau dampak bagi masyarakat sekitar sesuai perencanaan awal proyek tersebut akan melibatkan masyarakat setempat dalam bentuk kegiatan pemberdayaan. Namun, hingga saat ini banyak informasi beredar bahwa proyek tersebut tidak ada asas manfaatnya bagi masyarakat.
“Publik di Provinsi NTT merasa prihatin dengan pola pemeliharaan 1 juta ekor Ikan Kerapu tersebut. Ada sekitar 700 ribu ekor benih Ikan Kerapu ditebar ke dalam Teluk Wae Kelambu dan sekitar 300 ribu ekor benih Kerapu dipelihara dalam keramba. Publik bertanya-tanya bagaimana cara memberi makan ikan-ikan yang ditebar di laut itu? Apakah makanannya cukup? Bagaimana cara memantau perkembangan/pertumbuhan ikan? Dan bagaimana cara panennya? Siapa yang menjamin bahwa hasil panen bisa sesuai dengan jumlah ikan yang ditebar?” jelasnya merangkum kritik publik.
lanjut Advokat Peradi itu, dirinya dan publik NTT yang pro penegakan hukum yang berkeadilan, mengingatkan pihak Ditreskrimsus Polda NTT untuk tidak menjadikan proses penyelidikan kasus 1 juta ekor benih kerapu penuh intrik suap dan kongkalikong serta negosiasi kotor demi menghentikan proses penuntasan kasus tersebut.
“Publik NTT justru bisa saja berprasangka dan kemudian menyimpulkan bahwa diduga kuat ada aroma kongkalikong serta negosiasi demi menghentikan proses penyelidikan kasus dugaan korupsi Proyek Pengadaan 1 juta ekor Benih Kerapu. Sebab, sudah 11 (sebelas) bulan berlalu sejak dimulainya penyidikan atas kasus itu sampai dengan saat ini, belum juga ada tersangka-tersangka yang ditetapkan oleh pihak Ditreskrimsus Polda NTT,” jelasnya.
Meridian mengungkapkan, bahwa proyek pengadaan 1 juta ekor Benih Kerapu TA 2019 senilai Rp. 7,8 Miliar di Wae Kelambu oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi NTT itu telah dinilai sebagai proyek yang diduga “Gagal Total.” Karena, hasil panen Ikan Kerapu di teluk tersebut hanya sekitar 1 % (persen) dari total dana yang diinvestasikan Pemprov NTT yakni senilai Rp7,8 Miliar.
“Anehnya, Polda NTT malahan lebih gesit dan responsif melakukan penyelidikan atas kasus dugaan tindak pidana pencemaran nama baik terhadap Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat, dengan terlapornya yaitu Alfred Baun selaku Ketua ARAKSI NTT. Padahal apa yang dilakukan oleh Alfred Baun bukan merupakan tindakan pencemaran nama baik, melainkan bentuk kritik agar Pemerintah Provinsi NTT jujur dalam menggunakan anggaran di daerah ini,” jelasnya.
Menurut Meridian, penyelidikan Ditreskrimsus Polda NTT atas kasus dugaan korupsi tersebut berdasarkan laporan masyarakat yang menduga jumlah benih yang ditebar di Teluk Wae Kelambu, (baik yang ada di keramba maupun yang di dalam laut, red) tidak sesuai dengan jumlah benih yang seharusnya diadakan oleh Kontraktor Pelaksana.
Seperti diberitakan tim media ini sebelumnya (02/12/2020), Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Kepolisian Daerah (Polda) NTT telah melakukan penyelidikan (lidik) terhadap dugaan korupsi dalam Proyek Pengadaan 1 juta ekor benih kerapu senilai Rp.6,4 Miliar Tahun Anggaran (TA) 2019 yang ditebar di teluk Wae Kelambu (perbatasan Manggarai Timur dan Ngada, red).
Direktur Reserse Kriminal Khusus (Direskrimsus) Polda NTT, Komisaris Besar (Kombes) Polisi Yudi Sinlaloe yang dikonfirmasi tim media ini via pesan WhatsApp/WA pada 1 Desember 2020 tidak memberikan respon atas pertanyaan wartawan. Walaupun pesan WA tersebut telah dibaca, namun hingga berita ini ditayangkan, Yudi tidak memberikan tanggapan.
Informasi yang dihimpun dari sumber yang sangat layak dipercaya, mengungkapkan, Ditreskrimsus Polda NTT telah melakukan penyelidikan (lidik) untuk mengumpulkan bukti dan keterangan (pulbaket) dalam kasus dugaan korupsi proyek pengadaan 1 juta ekor benih ikan kerapu senilai Rp.6,4 Miliar. “Ditreskrimsus Polda NTT telah melakukan pulbaket dan telah memeriksa beberapa orang terkait sejak awal Oktober 2020 lalu. Nilai proyeknya Rp6,4 Miliar,” ujarnya.
Menurutnya, Ditreskrimsus melakukan Pulbaket terhadap kasus proyek tersebut berdasarkan laporan masyarakat yang menduga jumlah benih yang ditebar di teluk Wae Kelambu tidak sesuai dengan jumlah benih yang seharusnya diadakan oleh kontraktor pelaksana. “Ada dugaan, benih yang ditabur baik dalam keramba dan di dalam laut Wae Kelambu tidak sesuai jumlah yang seharusnya,” bebernya.
Selain itu, proyek tersebut dilaporkan tidak memberikan manfaat atau dampak bagi masyarakat sekitar. “Sesuai perencanaan awal, proyek tersebut melibatkan masyarakat setempat dalam bentuk pemberdayaan, namun hingga saat ini tidak ada asas manfaat dari proyek tersebut untuk masyarakat sekitar.” jelasnya.
Ia sendiri merasa bingung dan aneh dengan pola pemeliharaan 1 juta ekor ikan kerapu tersebut. “Sekitar 700 ribu ekor benih ikan kerapu ditebar ke dalam laut (teluk Wae Kelambu, red). Sedangkan sekitar 300 ribu ekor dipelihara dalam keramba. Pertanyaannya bagaimana cara memberi makan? Apakah makanannya cukup? Bagaimana cara memantau perkembangan/pertumbuhan ikan? Dan bagaimana cara panennya? Siapa yang menjamin bahwa hasil panen bisa sesuai dengan jumlah ikan yang ditebar?” tanyanya menyelidik. (tim).