Proyek Pembangunan Incenerator Senilai Rp 5,9 M di Dinas LHK NTT  DiDuga Bermasalah

Kupang,sonafntt-news.com.Proyek pembangunan Incinerator (mesin pengolah limbah B3) senilai  Rp 5,9 Miliar pada Dinas  Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) diduga bermasalah. Pembangunan incenerator tersebut tidak memiliki izin AMDAL (Analisis Dampak Lingkungan) dan belum dibayarnya denda keterlambatan penyelesaian pekerjaan oleh Rekanan/Kontraktor (CV Rachmat Hidayat Pratama, red).

Demikian temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia (RI) Perwakilan NTT sebagaimana ditulis dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK RI Nomor 91.B/LHP/XIX.KUP/05/2021 tertanggal 17 Mei 2021.

“Pada tahun 2020, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi  NTT menganggarkan Belanja Modal senilai Rp 8,338,999,700,00 Miliar dan telah direalisasikan  senilai Rp 7,287,298,800,00 Milyar atau 87,3 %. Berdasarkan pengujian atas realisasi Belanja Modal di DLHK, diketahui bahwa terdapat Pekerjaan Insinerator dan Fasilitas Pendukungnya yang terlambat diselesaikan sehingga harus dikenakan denda keterlambatan sesuai dengan ketentuan perjanjian dalam SPK (Surat Perjanjian Kerjasama),” tulis BPK.

Menurut BPK, pengadaan incenerator dan Fasilitas Pendukungnya direalisasikan melalui Belanja Modal sesuai kontrak nomor DLHK.007/248/III/2020 pada Tanggal 02 Mei 2020 senilai RP 5,989,000,000,00 Milyar dengan jangka waktu pelaksanaan selama 90 hari kalender kerja  yakni mulai Tanggal 29 Mei 2020 sampai dengan tanggal 26 Agustus 2020.

Kontrak tersebut, lanjut BPK dalam LHP,  mengalami empat kali adendum yakni, pertama, Nomor adendum DLHK.027/473.a./sekret/2020 Tanggal 26 Agustus sampai dengan 25 Oktober 2020 bunyi adendum yakni belum terbitnya izin lingkungan hidup. Kedua, adendum dengan nomor DLHK.027/968.a/III/2020 Tanggal 3 Oktober 2020 dengan jangka waktu 25 Oktober sampai dengan 8 Desember 2020 dengan bunyi, adanya pandemi covid 19, belum terbitnya izin lingkungan dan adanya CCO berdasarkan justifikasi teknis. Ketiga,  adendum dengan Nomor  DLHK.007/834/sekret/2020 Tanggal 4 Desember 2020 dengan jangka waktu 8 Desember sampai dengan 31 Desember 2020 dengan bunyi  adendum adanya pandemi covid 19 dan belum terbitnya izin lingkungan hidup. Keempat, adendum dengan Nomor DLHK.007/834/sekret/2020 tanggal 18 Desember 2020 dengan jangka waktu 8 Desember sampai dengan 31 Desember 2020 dengan bunyi adendum adanya CCO.

“Berdasarkan laporan kemajuan pekerjaan tanggal 31 Desember 2020, realisasi fisik pekerjaan mencapai 97 %. Pada tanggal 30 Desember 2020 telah dilakukan PHO berdasarkan BAST (Berita Acara Serah Terima) pertama hasil pekerjaan nomor DLHK.008/913/sekret/2020. Berdasarkan dokumen PHO tersebut  telah dilakukan permohonan pembayaran 100% kepada Bakeuda Provinsi NTT. Atas permohonan tersebut belum dilakukan pembayaran karena telah melewati batas pengajuan Permohonan Surat Perintah Membayar (SPM) sesuai keputusan Gubernur NTT Nomor 190/KEP/HK/2020 tentang Pelaksanaan dan Penatausahaan Belanja Daerah Akhir TA 2020 yang menyatakan bahwa batas akhir penyampaian Surat  Perintah Membayar Langsung Barang dan Jasa Konstruksi DAK fisik paling lambat 18 Desember 2020 Pukul 16.00 WITA,” terang BPK.

Terhadap sisa pekerjaan yang belum selesai, demikian BPK,  PPK memberikan kesempatan perpanjangan waktu kepada penyedia (tanpa dituangkan dalam Kesepakatan Pemberian Kesempatan). “Pada tanggal 15 maret 2021 pekerjaan telah selesai 100 % berdasarkan laporan mutual check seratus (MC-100).  Sampai dengan pemeriksaan berakhir belum dikenakan denda keterlambatan kepada penyedia,” papar BPK.

BPK menjelaskan, bahwa berdasarkan keterangan dari Kepala Bidang Pembinaan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan, insinerator tersebut telah dioperasikan mulai Tanggal 9 Februari 2020 tanpa adanya AMDAL. “Kepala bidang pembina DLHK menerangkan bahwa  pengoperasian tersebut mengacu kepada  Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.38/MENLHK/SEKJEN/KUM.1/7/2019 tentang Jenis Usaha dan/atau Kegiatan yang wajib memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan  hidup Pasal 7 huruf d, yang menyatakan bahwa dikecualikan dari kewajiban Amdal, jika Rencana Usaha dan/atau kegiatan yang dilakukan dalam kondisi tanggap darurat bencana,” rinci BPK.  

Tulis BPK lebih lanjut, menurut Surat Edaran Gugus Tugas Percepatan Penanganan  Covid 19 Nomor 6 Tahun 2020 Tanggal 7 Mei 2020 tentang Status Keadaan Darurat Bencana non alam Covid 19 sebagai Bencana Nasional pada Nomor 4 menyatakan status keadaan darurat bencana non alam akan berakhir pada saat ditetapkannya Keputusan Presiden tentang penetapan berakhirnya status bencana non alam covid 19 sebagai Bencana Nasional, sehingga harus terdapat izin Amdal sebelum berakhirnya status tanggap darurat bencana. Sampai dengan pemeriksaan berakhir DLHK masih dalam proses mengurus izin amdal kepada Kementerian Lingkungan Hidup. 

BPK menilai kondisi tersebut tidak sesuai dengan UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pada Pasal 22 ayat , Peraturan Presiden Nomor 16 tahun 2018 pada Pasal 7 ayat 1, Pasal 11 ayat 1, Pasal 17 ayat 2, Pasal 53 ayat 1, Pasal 56 ayat 1 dan 2, Pasal 57 ayat 1 dan juga Pasal 78 ayat 3, ayat 4, ayat 5.

Kondisi tersebut mengakibatkan pembangunan konstruksi incinerator tidak dapat segera dimanfaatkan dan menyalahi ketentuan tentang hukum lingkungan. Kondisi tersebut disebabkan oleh; Bidang perencanaan pada DLHK tidak tertib dalam melengkapi syarat-syarat pembangunan incinerator, dan PPK (Pejabat Pembuat Komitmen) pada DLHK tidak aktif dalam melakukan pengendalian dan pengawasan pelaksanaan kontrak. 

Selanjutnya BPK terhadap permasalahan tersebut, merekomendasikan Gubernur NTT (Viktor Bungtilu Laiskodat, red) segera menginstruksikan Kepada DLHK untuk memproses izin Amdal dan memperhitungkan denda keterlambatan pada rekanan untuk menyetorkannya ke kas daerah.  (/tim)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *