Opini

URGENSI PENDIDIKAN MULTIKULTURAL Oleh : Patrisius Kia Boli, S.Pd

Indonesia adalah negara yang majemuk terdiri dari berbagai adat istiadat dan agama yang hidup berdampingan dalam berbangsa dan bernegara. Selain menjadi kekayaan dan kekuatan, keberagaman budaya juga menimbulkan potensi konflik bernuansa SARA. Survei yang dilakukan oleh Wahid Institute tahun 2020 menjelaskan bahwa tren intoleransi dan radikalisme di Indonesia cenderung meningkat dari waktu ke waktu yang sebelumnya sekitar 46% meningkat menjadi 54%. Masalah rasisme yang dialami oleh mahasiswa Papua di Surabaya pada tahun 2020 turut menodai sila kedua yaitu kemanusiaan adil dan beradab serta menunjukan masyarakat belum sepenuhnya  menjalankan bhineka tunggal ika. 

Kekayaan budaya juga nampak dalam wilayah Kabupaten Belu yang secara geografis perbatasan darat langsung dengan negara Timor Leste. Data badan statistic Kabupaten Belu tahun 2020 mencatat bahwa mayoritas penduduk memeluk agama kekristenan yakni sebanyak 90,82%, dimana pemeluk agama Katolik sebesar 77,35% dan Protestan 13,47%. Selebihnya memeluk agama Islam 8, 92%, kemudian Hindu 0,22% dan Budha 0,04%. Selain keberagaman agama, adapun beberapa suku yang hidup bersama di tengah masyarakat Kabupaten Belu yaitu suku Marae, Kemak, Tetun dan Dawan. Masuknya warga Timor Leste yang memilih menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia turut memperkaya pluralisme masyarakat Belu. 

Potensi Konflik

Keberagaman budaya masyarakat Kabupaten Belu berpotensi menimbulkan perilaku etnosentris yang membanggakan budaya sendiri dan melihat rendah budaya lain sehingga terjadinya saling mengklaim kebenaran misalnya salah satu suku merasa sukunya paling benar, menghilangkan keberadaan suku lain dan membangun stigma suku pribumi dan pendatang. Membangun tembok pementasan  secara psikis di masyarakat karena perbedaan suku dan adat istiadat, melabelkan salah satu suku tidak mengerti adat dan sebaliknya. Sehingga berpotensi memancing konflik laten atau tersembunyi bahkan hingga konflik terbuka antar suku atas dasar kebenaran masing-masing. Sedangkan mengenai nilai budaya tidak tepat menggunakan perspektif benar atau salah yang bersifat subyektif. 

Pemahaman mengenai nilai agama secara inklusif dapat berpotensi selalu melihat realitas keberagaman masyarakat menggunakan kacamata agama yang diyakini saja dan tidak menganggap eksistensi agama lain. Mulai mengkonstruksi pola pikir mayoritas selalu berkuasa terhadap minoritas yang mengakibatkan diskriminasi dalam tindakan sosial dalam masyarakat. Tindakan diskriminasi agama akan menunjukan perbedaan agama mulai diekspresikan dalam kehidupan sehari-hari, apabila tensi tersebut gagal untuk diturunkan dapat melahirkan konflik kekerasan antara umat yang berbeda agama. Pada saat terjadi konflik terbuka akan menggores nama Atambua yang dikenal sebagai kota Beriman, kemudian menyimpan rasa dendam dari salah satu agama, suku maupun etnis, perilaku tersebut akan memancing adanya konflik terbuka dan berkesinambungan kepada generasi berikutnya. Sebagai upaya preventif agar konflik atas nama suku dan agama tidak tumbuh subur di lingkungan pendidikan maupun masyarakat, diharapkan segera melakukan pelaksanaan nilai-nilai multikultural dalam lembaga pendidikan seperti sekolah. Multikultural sebagai pengakuan atas segala keragaman budaya karena terdapat perbedaan kebudayaan yang mempengaruhi sikap seseorang dan memberikan edukasi makna dari setiap budaya tersebut menjadi sebuah kekayaan.

 Upaya Penanaman Nilai – Nilai Multikultural

Potensi problematika etnosentris, sukuisme, dan intoleransi dalam masyarakat Kabupaten Belu menjadi perhatian serius bagi dunia pendidikan baik dari Dinas Pendidikan hingga sekolah-sekolah menciptakan generasi peserta didik yang memiliki sikap menghargai dan menerima perbedaan budaya dan agama. Pendidikan menjadi solusi seperti yang diamanatkan oleh Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN), pasal 4 ayat I menyatakan, “Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak azazi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa. Penjelasan Undang-Undang tersebut sangat jelas bahwa penyelenggaraan  pendidikan tidak diskriminatif terhadap agama, suku, rasial, status sosial dan daerah artinya semua anak bangsa mempunyai hak yang sama. 

Sehingga diperlukan langkah konkret dalam memberikan solusi melalui penanaman nilai-nilai multikultural terhadap semua elemen pendidikan yaitu transformasi kurikulum disetiap sekolah berbasis multikultural dan melakukan internalisasi nilai toleransi, kesetaraan, keadilan dan demokrasi terhadap struktural sekolah agar dapat menyebarkan nilai-nilai multikultural dalam budaya sekolah, bukan mendukung adanya intoleransi dan menumbuhkan benih-benih konflik. Penanaman nilai-nilai multikultural seharusnya bersifat kontekstual seperti yang telah dilakukan oleh Seminari Tinggi Mertoyudan Magelang dengan kebijakan living together artinya peserta didik difasilitasi untuk hidup bersama kurang lebih satu minggu dengan masyarakat atau komunitas yang berlatar belakang agama Islam sebagai proses membentuk sikap saling menerima dalam perbedaan dan membangun keharmonisan sosial. Selain itu, SMP Santa Angela Atambua juga telah menerapkan pendidikan kontekstual berbasis kekayaan budaya lokal yaitu peserta didik difasilitasi untuk belajar secara langsung di kampung adat Matubesi terdapat dua belas suku yang menetap bersama. Nilai-nilai sosial, toleransi, persatuan dan keadilan yang mewarnai dalam kehidupan di kampung adat menjadi pedoman bagi peserta didik untuk membangun sikap multikultural. 

Peran tenaga pendidik sangat dibutuhkan dalam internalisasi nilai-nilai multikultural terhadap peserta didik tidak hanya berhenti pada ranah Learning To Know yaitu memberikan pengetahuan keberagaman Indonesia, khususnya masyarakat Belu, learning to be yaitu melahirkan pola pikir menjadi cinta keberagaman, tetapi harus mendorong ke tahap learning to do agar peserta didik melakukan tindakan nyata dan akan membentuk sikap multikultural dan terakhir paling penting adalah learning live together dengan masyarakat yang berbeda agama, suku, ras dan daerah supaya meresapi nilai keberagaman melalui pengalaman pribadi sebagai landasan untuk melakukan aksi nyata kemanusiaan tanpa memandang perbedaan budaya. 

About The Author

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *