Kowappem Minta Bupati Simon Nahak Tidak Mengkriminalisasi Pers

Kupang,sonafntt-news.com.Komunitas Wartawan Peduli Pembangunan (Kowappem) Nusa Tenggara Timur (NTT) minta Bupati Malaka, Dr. Simon Nahak (SN), S.H.,MH untuk jangan sekali-kali mengkriminalisasi pers dengan melaporkan wartawan/jurnalis dan atau media ke Polisi terkait pemberitaan. Kerja wartawan/aktivitas jurnalistik atau media dilindungi undang-undang pers nomor 40 Tahun 1999 dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ)  serta MoU Dewan Pers antara Dewan Pers (DP) dengan Polri (Nomor 2/DP//MoU/II/2017 Tentang Koordinasi  Dalam Perlindungan Kemerdekaan Pers dan Penegakan Hukum Terkait Penyalahgunaan Profesi Wartawan. Jika Bupati Simon Nahak merasa dirugikan terkait pemberitaan media atau wartawan, maka harus menempuh mekanisme undang-undang pers dan KEJ, bukan langsung mempidanakan wartawan/media, red) apalagi menggunakan undang-undang ITE. Penyidik Polres Malaka juga diminta untuk pahami undang-undang pers dan MoU antara Dewan Pers (DP) dengan Polri, sehingga tidak memproses pidana wartawan mengikuti desakan atau kemauan Bupati Simon Nahak. 

Demikian disampaikan Ketua KOWAPPEM NTT, Fabian Paulus Latuan pada Jumat (04/03/2022) di Kupang, menanggapi laporan Bupati Simon Nahak terhadap wartawan dan media Sakunar.Com. 

“Obyek sengketa kasus yang dilaporkan adalah berita yang ditayang Media Sakunar.Com tanggal 25 Februari, itu produk pers/produk jurnalistik, bukan postingan status biasa di FB, Instagram, atau twitter, juga bukan tayangan akun youtube pribadi, sehingga Bupati Simon lapor wartawan ke polisi, baru pake (pakai) undang-undang ITE. Ini adanya dugaan Bupati sedang kriminalisasi wartawan dan media. Penyidik perlu berhati-hati, tidak terjebak dalam dugaan kasus ini, sebaliknya mengarahkan pelapor (Bupati Simon Nahak, red) untuk melayangkan hak jawab atau hak klarifikasi,” jelasnya. 

Menurutnya, kasus laporan polisi yang dialami media Sakunar.com dan wartawannya, Yohanes Germanus Serang (YGS) harus diselesaikan menurut ketentuan Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999  yakni melayangkan hak jawab atau hak klarifikasi, dan tidak bisa diterapkan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Eletronik (ITE) untuk memproses hukum wartawan YGS. Karena jika demikian, maka Bupati Simon Nahak dan Polres Malaka dinilai dan diduga sedang melakukan upaya pembungkaman dan pemberangusan terhadap pers yang sedang menjalankan fungsi kontrol terhadap Pemerintahan. 

“Ini hak jawab hak klarifikasi belum dilayangkan, sudah duluan lapor polisi. Penyidik (Penyidik Polres Malaka, red) mudah-mudahan juga paham ini dan tidak ikut saja maunya pelapor (Bupati SN, red), hanya karena yang lapor adalah pejabat penting atau penguasa di Daerah,” tegasnya.

Fabian lebih lanjut menjelaskan, bahwa bilamana wartawan atau media Sakunar.Com tidak memenuhi kewajibannya melayani hak jawab atau hak klarifikasi Bupati Simon Nahak sebagaimana ketentuan Kode Etik Jurnalistik (KEJ) pasal 11, barulah Bupati Simon Nahak dapat lanjut mengadukan media tersebut ke Dewan Pers (DP) untuk meminta tanggapan DP.

“Hasil tanggapan Dewan Pers barulah menjadi rujukan bagi kepolisian untuk melanjutkan proses persoalan tersebut entah secara pidana atau perdata. Jika Dewan Pers menyatakan itu produk pers, maka diselesaikan menurut undang-undang pers (menghentikan penyelidikan laporan atau SP3). Sebaliknya, jika dinyatakan bukan produk pers (murni ITE, red) barulah dilanjutkan proses pidananya oleh Polres Malaka. Jadi harus ke Dewan Pers dulu,” kritiknya. 

Lebih lanjut, Pemimpin Redaksi (Pemred) Suaraflobamora.Com itu meminta Bupati Malaka, Dr. Simon Nahak proses kasus tersebut sesuai ketenuan UU Pers yang berlaku

Wartawan atau pers memang hadir untuk mengontrol kerja pemerintahan Bupati Simon Nahak, yang saat ini sedang menjalankan amanah rakyat membangun daerah Malaka. Wartawan mitra pemerintah, termasuk yang kritis juga tidak boleh dilihat sebagai musuh pemerintah, tetapi dirangkul, bukan dipukul. 

“Bupati Simon Nahak terkesan sedang berupaya membungkam kemerdekaan pers di Malaka dan Ini bertentangan dengan undang-undang pers Nomor 40 Tahun 1999 dan MoU DP dengan Polri tahun 2017. Ini diduga ada preseden buruk bagi Bupati Simon karena menampilkan potret buruk Demokrasi di Malaka, yang sedang mau dipasung sang Bupati,” imbuhnya. 

Kepada Penyidik Polres Malaka, Ketua KOWAPPEM itu juga mengingatkan akan adanya Memorandum of Understanding (MoU) Dewan Pers (DP) dengan Polri Nomor 2/DP/MoU/II/2017; Nomor B/15/II/2017 Tentang Koordinasi  Dalam Perlindungan Kemerdekaan Pers dan Penegakan Hukum Terkait Penyalahgunaan Profesi Wartawan. 

“MoU Dewan Pers dan Polri Nomor 12 Tahun 2017 pasal 4 ayat (2) disitu tertulis jelas, bahwa  PIHAK KEDUA (Polri, red), apabila menerima pengaduan dugaan perselisihan/sengketa termasuk surat pembaca atau opini/kolom antara wartawan/media dengan masyarakat, akan mengarahkan yang berselisih/bersengketa dan/atau pengadu untuk melakukan langkah-langkah secara bertahap dan berjenjang mulai dari menggunakan hak jawab, hak koreksi, pengaduan ke PIHAK KESATU (Dewan Pers, red) maupun proses perdata. Jadi proses pidananya masih jauh, harus didahului proses berjenjang dari hak jawab/klarifikasi  hingga pengaduan ke dewan pers dulu, baru bisa lanjut proses yang lain,” jelasnya lagi.

Kemudian, lanjut Fabian, bagian ketiga Mou Dewan Pers tentang Koordinasi di Bidang Penegakan Hukum Terkait Penyalahgunaan Profesi Wartawan di pasal 5 ayat (2), juga menjelaskan secara jelas, bahwa Polri (pihak kedua) bila  menerima laporan masyarakat terkait adanya  dugaan tindak pidana di bidang pers, maka terlebih dahulu dilakukan penyelidikan dan hasilnya dikoordinasikan dengan Dewan Pers (Pihak Kesatu) untuk menyimpulkan perbuatan tersebut adalah tindak pidana atau Pelanggaran Kode Etik Jurnalistik (KEJ).  

Wartawan yang konsen menyorot persoalan  pembangunan Nusa Tenggara Timur itu menyarankan dan meminta Bupati Simon Nahak untuk mencabut laporannya dan menempuh cara-cara sebagaimana mekanisme pers. Penyidik Polres Malaka juga diminta untuk menyelesaikan kasus tersebut menurut mekanisme penyelesaian sengketa pers, karena kasus media Sakunar.Com adalah delik pers, bukan ITE. 

“Kriminalisasi terhadap wartawan atau media hanya akan membangkitkan semangat para pekerja pers se-NTT dalam korsa profesi pers dalam semangat bangkit melawan Pemerintah hingga titik mana pun,” tegasnya.

Wartawan dan media, kata Fabian, adalah pilar keempat demokrasi. Media atau wartawan bertugas mengontrol pemerintah lewat pemberitaan dan bila pemerintah lalai, media atau wartawan wajib mengingatkan lewat. Namun jika wartawan atau media keliru dalam isi pemberitaan, juga ada mekanisme penyelesaian kesalahan atau kekeliruannya sesuai undang-undang pers, KEJ dan MoU Dewan Pers dan Polri. Jika dikriminalisasi, maka itu sama dengan Bupati Simon anti demokrasi. Jika demikian, maka hanya ada satu kata untuk musuh pers dan demokrasi, yaitu ‘lawan!” tegas Fabian. 

Diakhir tanggapannya, wartawan dikenal getol menulis kasus itu mengingatkan dan mengajak seluruh wartawan di NTT dan di Malaka khususnya untuk kembali bersatu dalam korsa pegiat pers. Tidak boleh tersegregasi oleh kepentingan tertentu dengan pihak manapun, termasuk oleh kepentingan politisi dan apalagi penguasa. “Independensi wartawan atau media harus tetap dijaga agar tidak diperalat pihak manapun. Jika tidak, wartawan atau media akan mudah diadu domba dan lupa akan jati dirinya, lupa akan apa dan siapa yang harus diperjuangkan terkait profesinya,” tutupnya.

Wartawan Fabian memastikan akan mengerahkan perlawanan pers terhadap Bupati Simon Nahak dan Polres Malaka, jika memaksakan kasus pemberitaan media Sakunar.Com dan wartawan YGS diproses di luar mekanisme undang-undang pers dan MoU Dewan Pers. (Sn/tim)

About The Author

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *